Jumat, 12 Oktober 2012

Babad Banyumas


Babad Banyumas

Isi

  [umpetna

[sunting]Prakata

Babad Banyumas ora bisa dipisah karo sejarah Kerajaan Galuh Purba (dibangun adoh sedurung abad 5 Masehi). Kerajaan kiye dibangun nang sekitar Gunung Slamet ning bar kuwe pusat kerajaane pindah maring Garut - Kawali (abad 6-7 Masehi) mbentuk utawa ngelanjutaken pemerentahan nang Kerajaan Galuh Kawali. Kerajaan Galuh Purba kuwe dibangun pendatang-pendatang sekang Kutai, Kalimantan ning sedurung agama Hindu melebu nang Kutai. Keturunan-keturunan Kerajaan Galuh Purba kiye nerusna pemerentahan Kerajaan nang Garut - Kawali (Ciamis) sing wis duwe budaya Sunda, terus sebagian campur darah karo keturunan Kerajaan Kalingga (Jawa Tengah). Campur darah (perkawinan) kuwe juga berlanjut dong masa Kerajaan Galuh Kawali dadiKerajaan Galuh Pajajaran sebab akeh perkawinan antara kerabat Keraton Galuh Pajajaran karo kerabat Keraton Majapahit (Jawa), lha keturunan campurane kuwe sing mbentuk Banyumas.
Babad Banyumas juga ora bisa dipisah karo sejarah Kerajaan Galuh Kawali sing wilayah kekuasaane ngeliputi lewih separo wilayah Jawa Tengah siki (kemungkinan tekan Kedu lan Purwodadi), dadi termasuk juga wilayah Banyumasan.
Babad Banyumas juga ora bisa dipisah sekang pribadi Raden Joko Kahiman (putra Raden Banyak Cotro, putu Raden Baribin), sing duwe sifat utawa watek-watek satria.
Babad Banyumas juga ora bisa dipisah karo babad Kadipaten-Kadipaten lan Kerajaan-Kerajaan nang wilayah Banyumas lan sekitare antarane Kadipaten Pasir LuhurKadipaten Wirasaba,Kadipaten Bonjok lan liya-liyane.
Babad Banyumas juga ora bisa dipisah karo babad Kerajaan-Kerajaan utama nang Jawa Tengah lan Jawa Barat antarane Kerajaan TarumanegaraKerajaan KalinggaKerajaan Pajajaran,Kerajaan MataramKesultanan DemakKesultanan Pajang lyy.
Babad Banyumas juga ora bisa dipisah karo legenda-legenda lan mitos-mitos Banyumasan antarane: Raden KamandakaWijayakusumaCiung WanaraGoa Jatijajar lan liya-liyane.
Sedurung ngelanjutaken Babad Banyumas lewih apik paham ndisit karo Makna Kata Banyumas lan Sejarah Kata Banyumas.

JALUR KERETA API CIJULANG-BANJAR


Jalur Kereta Api Banjar-Cijulang

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Jalur Kereta api Banjar-Cijulang atau kadang-kadang dipanggil jalur BanCi merupakan jalur kereta api yang menghubungkan Stasiun Banjar dengan Stasiun Cijulang. Jalur ini dulu merupakan jalur yang sibuk. Panorama jalur ini sangat indah mulai dari pegunungan hingga laut. Jalur Pangandaran-Cijulang ditutup pada 1981 akibat jalur yang sudah lanjut usia. Jalur Banjar-Pangandaran pun menyusul ditutup pada tahun 1984. Pada tahun 1997, jalur ini sempat diperbaiki dan berberapa lokomotif seperti BB300 dan D301 sempat lewat jalur banci ini. Namun jalur ini ditutup lagi saat krisis ekonomi yang melanda seluruh Asia. Jalur dan bantalan yang baru pasang pun dibongkar. Jalur ini merupakan dibawah kendali oleh Daerah Operasi II Bandung.
Jalur Kereta Api ini mempunyai banyak jembatan dan 3 terowongan yakni Terowongan Hendrik (100 m), Terowongan Juliana (250 m), dan Terowongan Sumber atau Wilhelmina ( 1.200 meter) . Salah satu jembatan dan terowongan merupakan paling panjang di Indonesia yaitu Jembatan Cikacepit dengan panjang 1.200 meter dan Terowongan Wilhelmina atau Terowongan Sumber.

Daftar isi

  [sembunyikan

[sunting]Latar Belakang Pembangunan Jalur Kereta Api Banjar-Cijulang

Jalur kereta api ini, menghubungkan kota-kota kecamatan di kawasan Ciamis selatan yang sekarang masuk dalam administrasi Kabupaten Ciamis dan Kota Banjar. Adapun kota-kota yang dihubungkan dengan jalur kereta api ini yakni Banjar-Banjarsari-Padaherang-Kalipucang-Ciputrapinggan-Pangandaran-Parigi dan Berakhir di Cijulang.
Pembangunan jalur kereta api ini diusulkan oleh pihak swasta pada masa pemerintah Hindia Belanda. Terdapat berbagai argumentasi tentang perlunya dibangun jalur kereta api ini, yakni sebagai berikut.
Pada tahun 1898, F.J Nellensteyn mengajukan konsesi pembangunan trem penghubung Pameungpeuk-Rancaherang-Klapagenep-Cijulang-Parigi-Cikembulan-Kalipucang-Padaherang-Banjar. Konsesi tersebut diterima pemerintah, tetapi Nellensteyn sendiri tak mengerjakan proyek yang diajukan itu.
Pada tahun yang sama, usul datang dari H.J Stroband. Ia mengajukan konsesi pembangunan trem uap dengan jalur yang lebih pendek dari usulan Nellensteyn, yaitu Banjar-Banjarsari-Kalipucang-Cikembulan-Parigi-Cijulang. Namun, usulannya ditolak pemerintah.
Kemudian Eekhout van Pabst dan Lawick van Pabst. Akan tetapi, seperti usul sebelumnya, usul Eekhout dan van Pabst pun tidak ditindaklanjuti.
Latar belakang dari pengajuan pembangunan jalur kereta-api tersebut dilatarbelakangi kepentingan ekonomi. Di sekitar Banjar terdapat banyak perkebunan yang sangat memerlukan sarana transportasi memadai untuk proses pengangkutan. Di antara perkebunan itu adalah perkebunan Lawang BlengbengLeuweung Kolot ILeuweung Kolot IIBantardawa IBantardawa IICikaso I,Cikaso IIBanjarsari I, dan Banjarsari II. Semua perkebunan itu milik kalangan swasta dari Eropa.
Di samping itu, hasil pertanian yang melimpah di Priangan tenggara dan lembah Parigi merupakan pertimbangan lain di balik usul pembangunan jalur tersebut. Di kawasan itu banyak padi hasil panen petani yang sudah disimpan lebih dari enam tahun karena kesulitan dalam pengangkutan ke luar daerah. Ditambah lagi, seperti dikemukakan van Pabst, di sepanjang jalur Banjar-Cijulang banyak tanah yang bisa dimanfaatkan sebagai sawah dan tegal.
Selama ini hasil perkebunan dan pertanian dari Banjar hingga Parigi itu diangkut melalui jalur darat (roda) atau sungai (perahu) menuju Cilacap (Jawa Tengah). Pengangkutan dengan cara ini membutuhkan waktu lama dan berbiaya tinggi. Dengan pembangunan jalur kereta di daerah tersebut, diharapkan hasil pertanian dan perkebunan bisa diangkut dengan cepat ke Banjar dan dari Banjar ke Cilacap.[1] [2]

Pada akhir abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20 Cilacap merupakan salah satu pelabuhan paling ramai di Pulau Jawa dan satu-satunya di pesisir selatan Pulau Jawa. Pada masa itu produk pertanian dan perkebunan dari beberapa daerah di Jawa Tengah dan Priangan dikapalkan ke luar negeri melalui pelabuhan ini.[3]

[sunting]Pembangunan Jalur Kereta Api Banjar Cijulang

Residen Priangan sendiri baru mengajukan pembangunan jalur kereta api Banjar-Parigi pada 1908. Pengajuan ini disertai nota Asisten Residen Sukapura dan Kontrolir Manonjaya. Alasan yang dikemukakan Residen Priangan tak jauh beda dengan yang dikemukakan kalangan swasta, yaitu untuk meningkatkan eksploitasi ekonomi dan pengembangan wilayah Priangan timur dan tenggara.
Setelah melalui pertimbangan yang cukup lama, berdasarkan undang-undang tanggal 18 Juli 1911, pemerintah kolonial memutuskan untuk membangun jalur kereta api Banjar-Kalipucang-Parigi. Pembangunan jalur ini sesuai dengan yang diusulkan Residen Priangan.
Meski demikian, pembangunan jalur tersebut harus ditunda karena muncul kritik dari anggota Majelis Rendah Parlemen, Lambert de Ram. Ia mengkritik jalur yang akan dibangun itu terlalu panjang dan akan memakan biaya sangat mahal. Ia mengusulkan agar jalurnya diubah, yakni dari Banjar langsung ke Cilacap melalui Dayeuhluhur. Namun, usulannya dinilai tidak realistis karena Dayeuhluhur merupakan daerah berawa dan dikenal sebagai sarang nyamuk malaria. Pembangunan jalur kereta melalui daerah ini malah lebih sulit dan memerlukan biaya lebih besar.
Pembangunan menurut rencana semula pun dilaksanakan. Ketika pembangunan jalur kereta sampai di Kalipucang, muncul usul lain. Usul ini disampaikan oleh Inspektur Sementara StaatSpoor(Kereta Api Negara) Radersma. Ia mengusulkan agar dari Kalipucang pembangunan tidak dilanjutkan ke Parigi, tetapi ke Kawunganten. Alasannya, jalur ini lebih dekat menuju Cilacap. Namun, pembangunan jalur ini harus melalui lereng gunung yang ditumbuhi hutan dan terdapat batuan andesit yang hanya bisa dihancurkan dengan dinamit. Akhirnya, usulan ini pun ditolak dan rencana semula diteruskan kembali.
Ketika pembangunan rel sudah sampai di Parigi, ternyata daerah itu dinilai kurang cocok sebagai ujung pemberhentian. Kemudian, pembangunan dilanjutkan 5 kilometer lagi hingga Cijulang. Cijulang dianggap cocok sebagai pemberhentian terakhir karena memiliki lembah unik yang dapat meneruskan jalur sampai Tasikmalaya atau sepanjang pantai selatan sampaiPameungpeuk.Jalur Banjar-Kalipucang resmi dibuka pada tanggal 15 Desember 1916 disusul dengan jalur Kalipucang-Cijulang yang dibuka pada tanggal 1 Januari 1921

[sunting]Rencana Pengembangan Jalur Kereta Api Banjar-Cijulang

Keberadaan jalur kereta api ini akhirnya menjadi tulang punggung sarana transportasi di wilayah Kabupaten Ciamis khususnya kawasan Banjar hingga Cijulang dan sekitarnya hingga dekade 1980-an. Hal ini dikarenakan jalan raya yang menghubungkan Banjar-Cijulang dan kawasan sekitarnya belum berkembang dengan baik dan sarana transportasi darat saat itu masih terbilang langka. Mundurnya jalur ini hingga dihentikannya pada dekade 1980-an disebabkan karena persaingan dengan moda transportasi jalan raya yang semakin tumbuh dan berkembang. Disisi lain,PJKA (PT. Kereta Api Indonesia sekarang) mengalami kerugian dalam mengoperasikan jalur ini dan biaya perawatan dan perbaikan sarana dan prasarananya cukup mahal.
Dalam berbagai rencana pembangunan sarana transportasi khususnya di bidang perkeretaapian, revitalisasi pembangunan jalur ini dimasukkan dalam rencana pengembangan perekeretaapian khususnya di wilayah provinsi Jawa Barat. Namun demikian, rencana ini terdapat kendala antara lain biaya investasi yang cukup tinggi.
Hal ini disebabkan karena masih banyak potensi dari kawasan ini yang belum dikelola secara optimal dikarenakan sarana dan prasarananya dianggap kurang memadai. Selain potensi Pariwisata di kawasan Pangandaran higga Cijulang. Kawasan ini menyimpan potensi di bidang Pertanian dan Perkebunan serta Pertambangan diantaranya fosfatkalsitbatu kapur dan pasir besi khususnya di kawasan selatan Provinsi Jawa Barat.[4]

[sunting]Referensi

  1. ^ Agus Mulyana, “Ekonomi dan Pengembangan Wilayah: Latar Belakang Pembangungan Jalan Kereta Api pada Lajur Banjar-Kalipucang-Parigi 1911-1921
  2. ^ "Titik Balik Historiografi Indonesia terbitan 2008" , dikutip oleh Acep Muslim, 2010
  3. ^ Susanto Zuhdi, "Cilacap 1830-1942: Bangkit dan Runtuhnya Suatu Pelabuhan di Jawa" , Dikutip oleh Acep Muslim, 2010
  4. ^ Pileuleuyan Kareta Banjar-Cijulang, diakses pada tanggal 15 April 2012.

[sunting]Jalur Terhubung

[sunting]Stasiun

[sunting]Lihat Pula

SEJARAH PANGANDARAN


SEJARAH:
Pada awalnya Desa Pananjung Pangandaran ini dibuka dan ditempati oleh para nelayan dari suku sunda. Penyebab pendatang lebih memilih daerah Pangandaran untuk menjadi tempat tinggal karena gelombang laut yang kecil yang membuat mudah untuk mencari ikan. Karena di Pantai Pangandaran inilah terdapat sebuah daratan yang menjorok ke laut yang sekarang menjadi cagar alam atau hutan lindung, tanjung inilah yang menghambat atau menghalangi gelombang besar untuk sampai ke pantai. Di sinilah para nelayan menjadikan tempat tersebut untuk menyimpan perahu yang dalam bahasa sundanya disebut andar setelah beberapa lama banyak berdatangan ke tempat ini dan menetap sehingga menjadi sebuah perkampungan yang disebut Pangandaran. Pangandaran berasal dari dua buah kata pangan dan daran . yang artinya pangan adalah makanan dan daran adalah pendatang. Jadi Pangandaran artinya sumber makanan para pendatang.
Lalu para sesepuh terdahulu memberi nama Desa Pananjung, karena menurut para sesepuh terdahulu di samping daerah itu terdapat tanjung di daerah inipun banyak sekali terdapat keramat-keramat di beberapa tempat. Pananjung artinya dalam bahasa sunda Pangnanjung-nanjungna ( paling subur atau paling makmur)
Pada mulanya Pananjung merupakan salah satu pusat kerajaan, sejaman dengan kerajaan Galuh Pangauban yang berpusat di Putrapinggan sekitar abad XIV M. setelah munculnya kerajaan Pajajaran di Pakuan Bogor. Nama rajanya adalah Prabu Anggalarang yang salah satu versi mengatakan bahwa beliau masih keturunan Prabu Haur Kuning, raja pertama kerajaan Galuh Pagauban, namun sayangnya kerajaan Pananjung ini hancur diserang oleh para Bajo (Bajak Laut) karena pihak kerajaan tidak bersedia menjual hail bumi kepada mereka, karena pada saat itu situasi rakyat sedang dalam keadaan paceklik (gagal panen).
Pada tahun 1922 pada jaman penjajahan Belanda oleh Y. Everen (Presiden Priangan) Pananjung dijadikan taman baru, pada saat melepaskan seekor banteng jantan, tiga ekor sapi betina dan beberapa ekor rusa.
Karena memiliki keanekaragaman satwa dan jenis – jenis tanaman langka, agar kelangsungan habitatnya dapat terjaga maka pada tahun 1934 Pananjung dijadikan suaka alam dan marga satwa dengan luas 530 Ha. Pada tahun 1961 setelah ditemukannya Bunga Raflesia padma status berubah menjadi cagar alam.
Dengan meningkatnya hubungan masyarakat akan tempat rekreasi maka pada tahun 1978 sebagian kawasan tersebut seluas 37, 70 Ha dijadikan Taman Wisata. Pada tahun 1990 dikukuhkan pula kawasan perairan di sekitarnya sebagai cagar alam laut (470,0 Ha) sehingga luas kawasan pelestarian alam seluruhnya menjadi 1000,0 Ha. Perkembangan selanjutnya, berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 104?KPTS-II?1993 pengusahaan wisata TWA Pananjung Pangandaran diserahkan dari Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam kepada Perum Perhutani dalam pengawasan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, Kesatuan Pemangkuan Hutan Ciamis, bagian Kemangkuan Hutan Pangandaran.

BABAD CIJULANG


Kanggo urang Cijulang pituin mah, ngadangu istilah sajarah cijulang tantos emutan teh ngalayang kana “Sajarah Cijulang” anu sok diaos waktos "Ngabukutaun".
Nurutkeun Sajarawan Sunda Prof. Dr. Edi S. Ekadjati, naskah “Sajarah Cijulang” kalebet naskah sunda buhun golongan babad, diserat dina Basa Sunda nyampur jeung Basa Jawa, ngango huruf Arab Pegon. Salah sahiji kopi “Sajarah Cijulang” janten koleksi Perpustakaan Nasional nomber SD 206 B nanging ieu mah tos ditranselasi kana aksara laten. Eusina ngajerentekeun silsilah, ti ngawitan Nabi Adam dugi ka pakolotan Cijulang; teras wae ngalalakon Aki Gede jeung Nini Gede. Namina oge naskah buhun, dina “Sajarah Cijulang” antara kanyataan sareng dongeng sigana nyampur janteun hiji.

Jang Langas dianggap luluhur Cijulang numutkeun “Sajarah Cijulang” mah, linggih na di Taal, gaduh putra sapuluh, genep anu tumetep di Cijulang yaeta Sabarudin, Karangmawangsa, Sukamawangsa, Parajasinga, Martadimangsa, sareng Ayuwetan.
Ari Aki jeung Nini Gede anu ngalalakon dina “Sajarah Cijulang”, lanceuk pangedena Jang Langas, urang Kedungrandu, ayeuna eta tempat aya keneh, jadi ngaran hiji desa di Kacamatan Patikraja Kabupaten Banyumas. Ari nu jadi cukang lantaran Aki Gede abur-aburan, kusabab kahayang Kenjeng Sinuwun nu jadi panguasa di Banyuwas ngawin anak awewe Aki Gede teu disaluyuan. Inggis ku bendu Sinuwun jeung ngadenge beja rek dirurugan, Aki jeung Nini Gede sabondoroyot dibaturan ku sawidak kuren terus mentas di Jaranmaganti (Cimanganti)  teras linggih di Pakemitan. Hariwang kapanggih ku pasukan Sinuwun, mindah deui Aki Gede teh ka Cikaso terus ka Kolemba, Bojong Cikur, Bubulak Karang Simpang, Binangun, terus ka Nagrog rek neangan tempat pinagaraeun tapi geus eweuh nu suwung, teras balik deui ka Binangun nembong geus aya Gandek Sinuwun nu dipiwarang neangan Aki Gede saparakanca. Teras eta Gandek ku Aki gede dibadamian sangkan ngadehes ka Dalem Sukapura anu kagungan nagara, ari aki gede terus neangan tempat pinagaraeun, mimiti ka tempat nu jadi Lembur Sarakan, Cikadu, Cikawung, Pepedan, Cipanengah, Sipatahunan, Cipakawuk, jeung Gurago anu teras dijadikeun lembur ngalih ti Binangun.
Ngarasa mantep di Gurago, terus Aki Gede nitah anak awewena jeung minantuna ka Sukapura ngadeheus Kanjeng Dalem, nu harita ngarana Dalem Tambela. 
Harita Cijulang teh asup ka wilayah Sukapura sanes Galuh siga ayeuna,  dina “Sajarah Cijulang” kacarioskeun yen anu janten kapala pamarentahan teh Dalem Tambela di Sukapura, jadi kurang leuwih Aki Gede teh jumeneng dina mangsa Cijulang masih keneh janten bagian ti Sukapura anu ayeuna mah gentos nami janteun Tasikmalaya.
Taun 1674 Umbul Sukakerta, Wirawangsa diangkat ku Sultan Agung janteun Mantri Agung Bupati Sukapura, gelarna Raden Tumengung Wiradadaha I, ieu minangka bales jasa saatos newak Dipati Ukur, harita Cijulang tos kasebat dina 12 daerah bawahan Sukapura anu dibebaskeun tina kawajiban mayar pajak ku Sultan Agung salami 7 turunan.
1674 Wirawangsa tilar dunya, digentos ku putera katiluna yaeta Raden Djajamanggala anu digelaran Raden Tumengung Wiradadahan II, ajeuna katelah ”Dalem Tambela”. Naha Dalem Tambela ieu anu dimaksad Dalem Tambela dina ”Sajarah Cijulang”? Upami leres aya sababaraha fakta anu teu saluyu. Dina ”Sajarah Cijulang” Dalem Tambela anu marentah di Sukapura kacarioskeun ngagaduhan anak mantu, malah salah sahiji mantuna dibikeun ka Aki Gede janteun hadiah saatos Aki Gede rengse ngawangun Situ Cimawati. Padahal ceuk fakta sajarah, Dalem Tambela teu kantos marentah di Sukapura kulantaran tilar dunya di Banyumas sauih dilantik di Mataram, ningalkeun 8 putra anu aralit keneh, layona dicandak dina tambela ka Sukapura janteun katelah Dalem Tambela.
Taun 1674 janteun hiji-hijina titimangsa anu kacatet dina sajarah, taun eta Aki Gede geus tumetep di Gurago, jadi mangsa ngalalana ti Kedungrandu nepi ka Gurago kajadianana saacan tahun 1674. Kira-kira saha atuh Kanjeng Sinuwun ti Banyumas nu jadi sabab Aki Gede pundah-pindah tempat ku sabab sieun ku anjeuna? Naha mungkin R. Tumenggung Metayuda II, Adipati Banyumas 1650-1705, atawa adipati sateuacanna R. Ngabei Mertayuda I anu marentah di Banyumas tahun 1620-1650.

Sapertos dicutat di luhur, Cijulang zaman Aki Gede sanes bawahan Galuh tapi Sukapura anu ngagusti ka Karajaan Mataram, eta teh kulantaran nalika Karajaan Galuh runtuh dina taun 1528 wilayahna mung kantun saalit. Waktos Sunan Amangkurat I janteun Raja Mataram, struktur wedana/bupati dihapus, digentos janten Ajeg, aya 12 Ajeg di wewengkon Mancanagara Kilen, salah sahijinya Sukapura. Taun 1677, wilayah ieu dipasrahkeun ka VOC teras jadi bawahan Bupati Kumpeni di Cirebon, status ieu teu robah waktos VOC bangkrut digentos ku Pamarentahan Hindia Walanda, nembe dina tahun 1864 dialihkeun janteun bagian ti Karesidenan Priangan. 
Waktos Pamarentah Walanda ngayakeun reorganisasi wilayah, dumasar kana Staatsblad 425 tahun 1931, Cijulang masih keneh janten kawadanaan anu lebet ka Kabupaten Sukapura, harita nu janten Wadana, R. Somawirya.


Pustaka :
Ruswendi Permana. Sejarah Cijulang:Kajian Filologis. Bandung : Program Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran. 1996.
Ikin Salihin Iskandar. Sejarah Cijulang. Dina http://iksalik.blogspot.com 
Komisi Sejarah Sukapura. Sejarah Sukapura. Tasikmalaya : Yayasan Sukapura
Mujahir Salam. Era Kejayaan Tasikmalaya di Tangan Bupati RA Tanoeningrat (1908-1937). Historia Soekapura dina www.priangan.co 
Pemerintah Kabupaten Banyumas. Sejarah Banyumas. Dina www.banyumaskab.go.id 
Wikipedia. Parahyanganhttp://id.wikipedia.org 
Yayasan Sawala Kandaga Kalang Sunda. Sejarah Kerajaan Galuh III. Dina www.kalangsunda.net